Dalam sebuah hadits yang diketengahkan oleh Bukhari dan Muslim secara
sepakat disebutkan bahwa: dahulu di kalangan orang-orang yang sebelum
kalian -yakni kaum Bani Israil- ada seorang lelaki yang telah membunuh
99 orang. Lelaki ini telah berlumuran darah. Jari-jemarinya, pakaiannya,
tangan, dan pedangnya, semuanya basah oleh darah, karena telah membunuh
99 orang dari kalangan orang-orang yang jiwanya terpelihara. Padahal
seandainya semua penduduk bumi dan penduduk langit bersatu-padu untuk
membunuh seorang lelaki muslim, tentulah Allah akan mencampakkan mereka
semuanya dengan muka di bawah ke dalam neraka. Maka terlebih lagi dengan
seseorang yang datang dengan pedang yang terhunus, sikap yang kejam,
jahat, lagi emosi, akhirnya dia membunuh 99 orang.
Lelaki pelaku kejahatan ini telah melumuri dirinya dengan darah banyak
orang dan membinasakan banyak jiwa yang diharamkan oleh Allah
membunuhnya serta mencabut nyawa mereka. Sesudah dirinya berlumuran
dengan kejahatan dan dosa besar ini, ia menyadari kesalahannya terhadap
Allah. Ia pun berpikir tentang hari pertemuannya dengan Allah nanti,
teringat saat hari kedatangannya kepada Allah untuk
mempertanggungjawabkan semua dosanya. Dia meyakini bahwa tiada yang
mengampuni dosa, yang menghukumnya, yang menghisabnya, dan yang membenci
seorang hamba karena dosa, kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Selanjutnya, ia berpikir untuk kembali dan bertaubat kepadaNya agar Dia membebaskannya dari neraka.
“Sesungguhnya para raja pun bila
budak-budaknya telah beruban dalam perbudakannya mereka pasti akan
memerdekakannya dengan pembebasan yang baik. Dan Engkau, wahai
penciptaku, jauh lebih murah daripada itu. Sekarang sungguh aku telah
beruban dalam penghambaan diri maka bebaskanlah diriku dari neraka.”
Maka keluarlah ia dengan pakaian yang berlumuran darah, sedang
pedangnya masih meneteskan darah segar dan jari-jemarinya berbelepotan
darah. Ia datang bagaikan seorang yang mabuk, terkejut, lagi ketakutan
seraya bertanya-tanya kepada semua orang: “Apakah aku masih bisa
diampuni?”
Orang-orang berkata kepadanya: “Kami akan menunjukkanmu kepada
seorang rahib yang tinggal di kuilnya, maka sebaiknya kamu pergi ke sana
dan tanyakanlah kepadanya apakah dirimu masih bisa diampuni.”
Dia menyadari bahwa tiada yang dapat memberi fatwa dalam masalah ini,
kecuali hanya orang-orang yang ahli dalam hukum Allah. Ia pun pergi ke
sana, ke tempat rahib itu, seorang ahli ibadah
dari kalangan kaum Bani Israil yang belum pernah merasakan manisnya
ilmu dan tidak pernah membekali dirinya dengan pengetahuan, penelitian,
dan penguasaan terhadap masalah-masalah agama. Dia hanya melakukan
ibadahnya menurut tata cara yang dibuat-buatnya sendiri tanpa ada dalil,
baik dari syari’at maupun agama.
Perhatikan QS. AL-HADJlD (57): 27, yang artinya:
“Dan mereka mengada-adakan
kerahiban, padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi
(mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan
Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang
semestinya. “
Sesungguhnya agama itu bila tidak dibarengi dengan cahaya hidayah dan
ilmu, sama dengan kesesatan dan bid’ah yang bertumpang-tindih antara
yang satu dan yang lainnya.
Ia pun pergi dengan langkah yang cepat dengan penuh penyesalan karena
dosa-dosa yang telah dilakukannya, lalu ia mengetuk pintu kuil si rahib
tersebut.
Rahib tersebut mengharamkan kepada dirinya sendiri: daging, makanan
yang baik, pakaian yang baik, dan kawin, padahal Allah tidak
mengharamkan semuanya itu atas dirinya. Dia lakukan hal tersebut karena
kejahilannya tentang maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia pun keluar menyambutnya.
Lelaki pembunuh ini masuk dan ternyata pakaiannya masih berlumuran
darah segar, membuat si rahib kaget dan terkejut bukan kepalang. Si
rahib berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu.”
Sambutan ini jelas bukan tata cara yang biasa digunakan oleh para
ulama dan para da’i yang menghendaki hidayah bagi manusia, karena pintu
Allah selalu terbuka; pemberiannya senantiasa datang dan pergi;
pahala-Nya dianugerahkan; tangan kekuasaanNya senantiasa terbuka pada
malam hari untuk menerima taubat orang-orang yang berdosa pada siang
harinya, dan senantiasa terbuka pada siang hari untuk menerima taubat
orang-orang yang berdo’a pada malam harinya, hingga matahari terbit dari
arah tenggelamnya (hari Kiamat).
Si pembunuh bertanya: “Wahai rahib ahli ibadah, aku telah membunuh 99 orang, maka masih adakah jalan bagiku untuk bertaubat?”
Rahib yang jahil itu spontan menjawab: “Tiada taubat bagimu!”
Mahasuci Allah, apakah engkau menutup pintu yang selalu dibuka oleh Allah? Apakah engkau memutuskan tali yang telah dijulurkan oleh Allah? Apakah engkau mencegah hujan yang telah diturunkan oleh Allah? Apakah engkau menutup jalan masuk yang telah dibuat oleh Allah?
Mahasuci Allah, apakah engkau menutup pintu yang selalu dibuka oleh Allah? Apakah engkau memutuskan tali yang telah dijulurkan oleh Allah? Apakah engkau mencegah hujan yang telah diturunkan oleh Allah? Apakah engkau menutup jalan masuk yang telah dibuat oleh Allah?
Padahal Allahlah yang menciptakan; Allahlah yang telah menetapkan;
Allahlah yang memberikan ampunan; Allahlah yang menghisab; dan Allahlah
yang berbisik kepada seorang hamba pada hari yang tiada bermanfaat lagi
harta benda dan anak-anak, kecuali orang yang menghadap kepada Allah
dengan hati yang bersih, lalu Allah menyuruhnya mengakui dosa-dosanya,
kemudian Allah mengampuninya jika Dia menghendaki. Maka apakah
urusanmu, hai rahib, sehingga engkau ikut campur dalam urusan antara
para hamba dan Tuhannya?
Apakah engkau memang seorang yang ahli untuk memberi fatwa dalam
masalah ini? Bukan, engkau bukanlah seorang yang ahli dalam bidang ini.
Hal ini hanya bisa ditangani oleh para ulama yang mengamalkan ilmunya
lagi mengetahui tujuan syari’at-Nya.
Akhirnya, si penjahat ini putus asa memandang kehidupan ini. Di
matanya dunia ini terasa gelap; kehendak dan tekadnya melemah; dan
keindahan yang terlihat di wajahnya menjadi buruk. Ia pun mengangkat
pedangnya dan membunuh rahib ini sebagai balasan yang setimpal untuknya
guna menggenapkan 100 orang manusia yang telah dibunuhnya.
Selanjutnya, ia keluar menemui orang-orang guna menanyakan kembali
kepada mereka, bukan karena alasan apa pun, melainkan karena jiwanya
sangat menginginkan untuk taubat dan kembali ke jalan Tuhannya serta
menghadap kepada-Nya.
Ia bertanya kepada mereka: “Masih adakah jalan untuk bertaubat bagiku?”
Mereka menjawab: “Kami akan menunjukkanmu kepada Fulan bin Fulan,
seorang ulama, bukan seorang rahib, yang ahli tentang hukum Tuhan.”
Sehubungan dengan pengertian ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskannya melalui ayat-ayat berikut, yaitu firman-Nya:
Dalam QS. AZ-ZUMAR (39): 9, yang artinya:
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Dalam QS. AL-MUJAADALAH (58): 11, yang artinya:
”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. “
Dalam QS. AL-ANKABUUT (29): 49
“Sebenarnya Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. “
Dalam QS. ALI ‘IMRAN (3): 18, yang artinya:
”Allah menyatakan bahwasanya tidak
ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu).”
Si pembunuh itu pergi menemui orang alim itu yang saat itu berada di majelisnya sedang mengajari generasi dan mendidik umat.
Orang alim itu pun tersenyum menyambut kedatangannya. Begitu
melihatnya, ia langsung menyambutnya dengan hangat dan mendudukkannya di
sebelahnya setelah memeluk dan menghormatinya. Ia bertanya: “Apakah
keperluanmu datang kemari?”
Ia menjawab: “Aku telah membunuh 100 orang yang terpelihara darahnya, maka masih adakah jalan taubat bagiku?”
Orang alim itu balik bertanya: “Lalu siapakah yang menghalang-halangi
antara kamu dengan taubat dan siapakah yang mencegahmu dari melakukan
taubat? Pintu Allah terbuka lebar bagimu, maka bergembiralah dengan
ampunan; bergembiralah dengan perkenan dari-Nya; dan bergembiralah
dengan taubat yang mulus.”
Ia berkata: “Aku mau bertaubat dan memohon ampun kepada Allah.”
Orang alim berkata: “Aku memohon kepada Allah semoga Dia menerima taubatmu.”
Selanjutnya, orang alim itu berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau
tinggal di kampung yang jahat, karena sebagian kampung dan sebagian kota
itu adakalanya memberikan pengaruh untuk berbuat kedurhakaan dan
kejahatan bagi para penghuninya. Barang siapa yang lemah imannya di
tempat seperti ini, maka ia akan mudah berbuat durhaka dan akan terasa
ringanlah baginya semua dosa, serta menggampangkannya untuk melakukan
tindakan menentang Tuhannya, sehingga akhirnya ia terjerumus ke dalam
kegelapan lembah dan jurang kesesatan. Akan tetapi, apabila suatu
masyarakat yang di dalamnya ditegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar,
maka akan tertutuplah semua pintu kejahatan bagi para hamba.”
“Oleh karena itu, keluarlah kamu dari kampung yang jahat itu menuju
ke kampung yang baik. Gantikanlah tempat tinggalmu yang lalu dengan
kampung yang baik dan bergaullah kamu dengan para pemuda yang shalih
yang akan menolong dan membantumu untuk bertaubat.”
Si pembunuh itu pun pergi dengan langkah yang cepat dan hati yang
gembira dengan berita dan pengharapan ini. Ketika ia telah berada di
tengah jalan, ia jatuh sakit dan sekaratul maut datang menjemputnya.
Dalam QS. QAAF (50): 19, yang artinya:
“Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.”
Selanjutnya, dia mengucapkan kalimat laa ilaaha illallooh, lalu meninggal dunia. Dia belum pernah shalat, belum pernah puasa,
belum pernah bershadaqah, belum pernah zakat, dan belum pernah
mengerjakan kebaikan sama sekali, tetapi dia kembali kepada Allah dengan
bertaubat, menyesal, berharap, dan takut kepada-Nya.
Maka datanglah malaikat rahmat dan malaikat adzab untuk mengambil dan
menerima nyawanya dari malaikat maut yang mencabutnya. Mereka terlibat
perselisihan yang sengit dalam memperebutkannya. Malaikat rahmat
berkata: “Sesungguhnya dia datang untuk bertaubat dan menghadap kepada
Allah menuju kepada kehidupan yang taat, kembali kepada Allah, dan
dilahirkan kembali melalui taubatnya itu. Oleh karena itu, dia adalah
bagian kami.”
Malaikat adzab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah melakukan
suatu kebaikan pun. Dia tidak pernah sujud, tidak pernah shalat, tidak
pernah zakat, dan tidak pernah bershadaqah, maka dengan alasan apakah
dia berhak mendapatkan rahmat? Bahkan dia termasuk bagian kami.”
Allah pun mengirimkan malaikat lain dari langit untuk melerai
persengketaan mereka. Selanjutnya, malaikat yang baru diutus itu pun
datang kepada mereka yang telah menjadi dua golongan yang bertengkar.
Malaikat yang baru berkata kepada mereka: ”Tahanlah oleh kalian.
Sesungguhnya solusinya menurutku ialah hendaklah kalian sama-sama
mengukur jarak antara lelaki ini dan tanah yang ia tinggalkan, yaitu
kampung yang jahat, dan jarak antara dia dan kampung yang ditujunya,
yaitu kampung yang baik.”
Ketika mereka sedang sama-sama mengukur, Allah memerintahkan kepada
kampung yang jahat untuk menjauh dan kepada kampung yang baik untuk
mendekat.
Menurut riwayat lain disebutkan bahwa sesungguhnya lelaki pembunuh
100 orang ini menonjolkan dadanya ke arah kampung yang baik. Akhirnya,
mereka menjumpai mayat lelaki jahat ini lebih dekat kepada penduduk
kampung yang baik dan mereka memutuskan bahwa lelaki ini adalah bagian
untuk malaikat rahmat. Malaikat rahmat pun mengambilnya untuk dimasukkan
ke dalam surga.
(Kisah Lelaki Ini Disebutkan Dalam Shahih Bukhari No. 3395, Shahih Muslim No. 6957, Dan Ahmad No.10924.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu comentnya..khusus buat para alumni dan buat semuanya